Oleh: Dr King Faisal Sulaiman SH, LLM/ Advokat dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Babak baru polemik gugatan keabsahan Ijasah mantan Presiden RI Jokowi nampaknya makin meningkat eskalasi pro kontra dikalangan publik. Kampus UGM selaku pemilik otoritas asal ijazah Pak Jokowi,hanya memberikan keterangan umum bahwa Jokowi merupakan mahasiswa fakultas kehutanan UGM dan telah dinyatakan lulus secara resmi dengan mengantongi Ijazah S1 yang sah.
Namun petinggi UGM, tak bisa menunjukan bukti keaslian Ijazah dengan dalih keberadaan Ijazah asli hanya dipegang oleh Jokowi. Di sisi lain, UGM hanya akan bersedia dimintai keterangan lebih detail jika diminta atas dasar perintah Pengadilan.
Anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang selama ini mempersoalkan keaslian Ijasah Jokowi, pernah menyambangi kediaman Jokowi di Banjarsari Kota Solo beberapa waktu yang silam. Tujuannya untuk mengklarifikasi langsung, akan tetapi hasilnya pun nihil alias gagal.
Jokowi tetap bersikukuh untuk tidak memperlihatkan secara langsung Ijasah beliau.
Jokowi pun berdalih jika TPUA tidak punya kewenangan apapun untuk mengatur apalagi meminta menunjukkan Ijasah aslinya kecuali atas permintaan atau perintah pengadilan.
Namun di sisi lain, Jokowi justru memilih menunjukkan secara langsung ijazahnya yang diduga palsu tersebut, kepada segelintir awak media/wartawan yang diundang/bersilaturahmi kerumahnya beberapa waktu yang silam. Dihadapan wartawan diperlihatkan ijazah, namun dilarang memotret atau mendokumentasikan nya.
Delik Ijasah dan Implikasi Hukum
Pertama, ancaman hukum tindak pidana pemalsuan Ijasah. Andaikatan pencalon Presiden Jokowi Ketika itu terbukti, menggunakan ijazah palsu maka potensial dapat dituntut berdasarakan UU Perguruan Tingig Nomor 12 Tahun 2012.
Ketentuan Pasa 93 UU ini menyiratkan pesan bahwa, perseorangan atau lembaga penyelenggara Pendidikan tinggi dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) jika terbukti secara melawan hukum atau tanpa hak menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi resmi yang sah atau diakui negara resmi negara.
Kedua, Delik pemalsuan Ijasah bisa juga menggunakan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini menegaskan bahwa, setiap orang yang terbukti dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah palsu untuk kepentingan apapun, maka bersangkutan dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.
Ketiga, Pemalsuan ijasah juga dapat menggunakan Delik Pemalsuan dalam Pasal 263 Junto Pasal 264 KUHP. Ancaman pidana dalam KUHP bisa sampai enam tahun penjara jika terbukti secara sah di hadapan pengadilan. Jika menggunakan kacamata KUHP baru kualifikasi ancaman pidan penjara juga sama, dan denda bisa dikenakan maksimal 2 milyar, namun KUHP ini masih berlaku 2026, setahun lagi.
Produk Kebijakan Tidak Bisa Di Pidana
Yang menarik adalah bagaiman implikasi hukumnya terhadap sejumlah kebijakan termasuk setiap produk hukum yang pernah di buat selama Jokowi berkuasa 10 tahun?
Dalam spektrum ketatanegaraan atau hukum administrasi negara, pembuktian Keaslian Ijasah tidak bisa membatalkan produk kebijakan atau hukum selama Jokowi berkuasa sebagai Presiden. Perbuatan pemalsuan masuk dalam lapangan hukum pidana, yang berkaitan dengan Tindakan kejahatan yang sengaja melawan hukum atau tanp hak memalsukan Ijasahnya demi untuk menguntungkan diri sendiri.
Delik pemalsuan berdiri sendiri sebagai delik pidana murni sebagaiman diatur dalam KUHP maupun UU Dikti dan UU Sistem Pendidikan Nasional diatas. Pertanggungjawaban pidana hanya melekat pada individu atau siterpidanan yang melakukan kejahatan pemalsuan dokumen otentik tersebut dan ancaman pidananya jelas dan tegas.
Perbuatan pemalsuan ijazah seorang Presiden, tidak bisa dijadikan dasar legitimasi hukum untuk mendalilkan apalagi menjustifikasi bahwa semua produk kebijakan atau hukum yang dibuat Jokowi Ketika menjabat Presiden otomatis batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Para pihak yang merasa dirugikan akibat kebijakan presiden Jokowi selama berkuasa, silahkan mengajukan gugatan atau tuntas class action ke pengadilan tetapi legal standingnya harus jelas; dan spesifik isu gugatannya tidak boleh menggeneralisir semua persoalan negara.
Produk kebijakan pada dasarnya, tidak dapat dipidana ataupun diadili. Namun setiap pengambil kebijakan bisa dipidana jika terbukti melawan hukum misalnya dengan melakukan penipuan atau mengandung perbuatan korupsi, itupun harus di bukti unsur niat jahatnya dan apa saja alasan-alasan material yang menyertainya.
Tegasnya, Delik atu konstruksi perbuatan pidana yang di lakukan oleh seorang pejabat sifatnya otonom dan memerlukan sejumlah unsur pembuktian secara pidana yang runtut sesuai hukum acara pembuktian yang berlaku.
Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal hukuman pidana, yang berlaku hanya sanksi administrasi berupa tindakan administrasi, semisal pengenaan pemotongan DBH; denda; pencabutan izin usaha atau penutupan aktifitas korporasi secara permanen.
Kalau sanksi hukum ketatanegaraan sifatnya politik seperti proses impeachment terhadap persiden yang berujung pada pemberhentian Presiden, itupun harus dibuktikan melalui rangkaian bukti pelanggaran konstitusi; dan ada proses pembelaan dalam persidangan impeachment.
Setiap produk kebijakan Presiden tidak bisa serta merta batal demi hukum atau tidak lagi diakui keabsahannya, hanya karena terbukti pada saat pendaftaran pencalonan Presiden menggunakan ijasah palsu. Hanya saja sanksi sosial atau moral sudah pasti sulit untuk dihindari. Keengganan Jokowi untuk terbuka memperlihatkan keaslian ijasahnya, ini akan menimbulkan spekulasi negative dan presedent buruk bagi citra atau sosok beliau sebagai negarawan dan mantan Presiden yang patut diteladani.






