Selalu Berubah, Disperindag Kesulitan Mendata Pedagang Harian

TERNATE – Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ternate, sudah menyelesaikan data base untuk pedagang bulanan dan tahunan, sementara Disperindag setengah mati atau kesulitan mendata pedagang harian, karena selalu berubah-ubah pedagangnya.

Anggota Komisi II DPRD Kota Ternate, Junaidi A.Bahrudin, mengatakan itu yang menjadi tantangan di Dis perindag. Saat ini Disperindag masih fokus untuk bagaimana formulasikan menyiapkan mekanis me pendekatan terkait pedagang-pedagang harian yang berubah.

“Pendekatan adalah tempatnya, siapa pun pelakunya, tempatnya itu yang dijadikan objek pungutan,” ungkap Anggota Komisi II DPRD Kota Ternate, Junaidi A. Bahrudin, saat dihubungi, Sabtu (9/8/2025).

Politisi partai Demokrat ini menga takan, ketika menetapkan tempat harus ada batasan. Kawasan ini sampai kawasan ini luasnya sekian dibagi berapa lapak ditempati oleh sekian pedagang.

“Siapa saja yang datang bajual (berjualan) disitu, pelaku berubah- ubah tidak ada urusan, tempatnya sudah ada, yang dipungut itu berdasarkan tempat itu,” tuturnya.

Salah satu opsi, menurut Junaidi, pemerintah harus menyiap kan lokasi khusus untuk pedagang dari luar. Jadi misalnya, merevitalisasi kondisi pasar, misalnya ada opsi revitalisasi di beberapa titik untuk mengakomodasi jumlah pedagang yang bertambah.

Yang kedua, buat aturan mainnya, ada mekanisme pasar yang harus disiapkan oleh pemerintah. Kalau tidak dibuat begitu, jumlah pedagang dari tahun ke tahun selalu ber tambah. Jadi harus ada aturan main yang disiapkan pemerintah.

“Karena kita punya keterbatasan ruang, tidak mungkin lagi kita menambah jumlah lapak dalam kondisi pasar saat ini, kecuali misal nya dilakukan perluasan di beberapa pasar yang lain,” tutur dia.

Misalnya, lanjut Junaidi, pasar Bastiong diperluas, Pasar Dufa-Dufa diperluas, Pasar Sasa difungsikan, baru dilakukan distribusi pedagang. “Mungkin itu masih bisa menjawab permasalahan jumlah pedagang tadi,” ujarnya.

Tapi, sambung politisi partai Demo krat ini, kalau itu tidak jadi pilihan pemerintah kemudian semua tertumpuk di Gamalama sana atau di Lelong ya pasti membludak.

Faktanya masih ada lapak-lapak pedagang yang kosong masih banyak. Pasar wisata di Tolire yang dibangun pemerintah sebelumnya tidak difungsikan.

“Itu butuh kebijakan pemerintah, jadi tidak hanya sekedar menghadir kan pasarnya. Kalau ada pasarnya, tidak ada aktivitas jual beli juga setengah mati, seperti pasar Sasa,” katanya balik bertanya.

Kenapa orang berjualan di pinggir jalan, tidak masuk ke dalam kan sepi pengunjung, harus ada pilihan pilihan kebijakan yang menarik per hatian orang untuk beraktivitas disi tu. Misalnya, Sasa tak hanya pasar, tapi dia jadi terminal penumpang.

Jalur kendaraan dari pulau harus transit disitu, itu bisa menghidup kan pasar. Demikian dari Utara cuma sampai di terminal Dufa-Dufa tidak boleh masuk kota, kecuali pedagang yang ke kota pakai open cup, tapi penumpang turun disitu. Jadi banyak pilihan pemerintah yang itu bisa menyebabkan pelaku pasar ini punya aktivitas yang dong (mereka) betah disitu.

Kalau lapak yang kosong di lantai II pasar Bastiong,Pasar Rempah Kota Baru, menurut Junaidi, itu segmen tasi jualannya, karena orang punya pilihan semua ada di lantai satu. “Jadi orang sampai dilantai satu saja, kalau dia naik ke lantai dua harus beda jualan dengan yang ada di lantai satu dong,” sambungnya.

Barang yang ada dilantai dua tidak ada diperoleh dilantai satu, itu baru bisa orang naik ke lantai dua. Tapi kalau dilantai dua semua yang ada dilantai satu, orang mau beli semua sudah ada dilantai satu. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *