Wartawan Ratu Dunia (?)

Opini387 Dilihat

Oleh: Fauji Ilyas, S.I.Kom.,M.I.Kom.        (Pegiat Kebijakan Media Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)

“Ratu dunia, oh wartawan ratu dunia, Apa saja kata wartawan mempengaruhi pembaca koran, Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji, Bila wartawan mencaci, dunia ikut membenci, Wartawan dapat membina, pendapat umum di dunia”

Kutipan lirik Lagu Wartawan Ratu Dunia yang dipopulerkan Nasida Ria pada kalimat pembuka diatas menegaskan betapa mulianya wartawan sebagai makhluk superior yang memiliki otoritas dalam membuat citra, dan mencipta opini melalui karya spektakuler bernama berita.

Penggunaan istilah “Ratu Dunia” cukup menggelitik nalar imajinasi mutakhir. Julukan ini terasa puitis-politis dalam pergerakan ekonomi politik media yang mulai merebak di Indonesia. Oleh karenanya saya meminjam kembali istilah “Ratu Dunia” untuk melengkapi judul opini ini, dalam rangka memotret fenomena wartawan di era post-truth.

Dalam perspektif post-truth, keyakinan pribadi seorang wartawan memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding logika dan fakta. Sebagai pelampiasan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap sikap politiknya. Dramatisasi berita oleh wartawan di era ini jauh lebih penting daripada isi dari berita itu sendiri. Narasi selalu mengalami kemenangan mutlak terhadap data atas fakta yang ada. Hoax adalah turunan dari post-truth. hadirnya fenomena hoax mampu melemahkan kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis dan melakukan pengecekan ulang atas fakta dan kebenaran sebuah berita. “Yang penting Viral”.

“Bila wartawan terpuji, bertanggung jawab berbudi. Jujur tak suka berdusta, beriman serta bertaqwa, niscaya besar jasanya dalam membangun dunia. Tetapi bila wartawan suka membuat keonaran. Tak jujur suka berdusta, tak beriman tak bertaqwa. Bisa merusak dunia, ibarat racun dunia” Lanjutan lirik tersebut dalam kajian semiologi dapat dipahami sebagai penegasan atas batasan kerja-kerja wartawan. Artinya menjadi wartawan harus Jujur, beriman serta bertaqwa dan mampu bertanggungjawab atas apa yang diberitakan. Tentu, pesan moral dalam lirik tersebut seirama dengan normatif wartawan, sebagaimana diatur dalam kode etik jurnalistik, diantaranya, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, menerapkan asas praduga tak bersalah, tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi, Independent, akurat dan bertanggung jawab.

Mengacu pada kondisi terkini wartawan, sepertinya mengiyakan bahwa nostalgia “Ratu Dunia” belum usai, karena detik-detik kepunahan istilah itu di dunia pers belum kelihatan. Maka jawabannya adalah “iya, wartawan masih sebagai ratu dunia”. Meskipun tindakan melanggar kode etik oknum wartawan yang mengatasnamakan wartawan masih saja terjadi, sehingga masyarakat kadang susah membedakan, mana wartawan profesional, mana wartawan yang mencari keuntungan lewat pekerjaan wartawannya, dan mana wartawan yang hanya menggunakan keampuhan wartawannya untuk memuluskan kepentingannya yang kerap tampil meyakinkan dan terkesan arogan. Kenyataan ini tentu berdampak pada profesionalisme wartawan Indonesia secara keseluruhan.

Lebih dari kritik, tulisan ini juga sebagai otokritik atas praktek jurnalisme online, yang mana saat ini kita sedang melihat sebening kristal betapa masa depan pers di Indonesia yang semakin bertumpu pada platform digital yang menyajikan berita ‘Cepat Saji’. Sejalan dengan itu, penerapan metode jurnalistik di dunia digital juga membuka peluang bagi wartawan untuk menerobos berbagai limitasi yang melekat pada media konvensional.

Berita online seolah-olah boleh dibuat tanpa mengindahkan prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik yang telah disepakati Dewan Pers. Misalnya, rumor bisa jadi berita, meski belum dicek kebenarannya. Semua seperti menjadi halal. Celakanya, wartawan menganggap hal-hal tersebut seperti sudah jadi kredo dan dianggap benar.

Fenomena ini mesti tebal-tebal digaris bawahi, mengingat kian luasnya segmen pemanfaatan Internet di Indonesia yang merupakan habitat paling fertil bagi jurnalisme online. Singkat kata, menimbang berbagai faktor diatas, jurnalisme online punya potensi dan masa depan yang terlalu penting untuk disempitkan menjadi sekadar jurnalisme cepat saji, yang penuh sensasi, minus isi.

Sebagai penutup, Jurnalisme dan etika komunikasi harus bekerja sama untuk mengedepankan berita yang benar sesuai fakta. Wartawan harus mampu mengendalikan sentimen serta menundukkan insting buruk, agar selamanya Wartawan Tetap Menjadi Ratu Dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *